Utamakan Persatuan, Pemilu Bukan Ajang Permusuhan
Oleh : Shenna Aprilya Zahra )*
Pemilihan Umum kerap menghasilkan gesekan antar masyarakat bahkan antar kelompok, kondisi yang memanas jelang maupun pasca pemilu memang wajar, namun menjadi tidak wajar jika rasa persatuan menjadi pudar hanya karena perbedaan pilihan. Sehingga penting bagi siapapun untuk dapat bersikap dan berpikir secara logis, bahwa tidak seharusnya pemilu melahirkan permusuhan.
Bambang Soesatyo selaku Ketua MPR RI mengajak kepada seluruh pihak untuk tidak menjadikan Pemilu 2024 sebagai arena permusuhan yang mengakibatkan perpecahan, karena perbedaan adalah hal yang wajar. Hal tersebut ia sampaikan dalam kesempatan peringatan dan tasyakuran Hari Jadi Ke-78 MPR RI dengan menampilkan kisah ‘Semar Boyong’ semalam suntuk.
Pria yang akrab disapa Bamsoet tersebut menuturkan, bahwa meskipun jelang Pemilu, suhu politik biasanya memanas, tentu saja tidak boleh menjadikan Pemilu 2024 sebagai arena permusuhan yang mengakibatkan perpecahah. Menurutnya, perbedaan pandangan dan pilihan politik merupakan hal yang wajar. Namun, tidak boleh mencederai hingga merusak soliditas kebangsaan.
Tidak hanya itu, Bamsoet juga menyampaikan dalam konteks kehidupan berbangsa, di mana masyarakat dapat mengambil pelajaran dari lakon Semar Boyong dalam melaksanakan pesta demokrasi lima tahun sekali tersebut. Bamsoet menjelaskan bahwa dalam lakon tersebut menunjukkan bahwa permusuhan dan pertikaian tidak pernah menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan persoalan.
Kisah Semar Boyong diketahui menggambarkan ketika dunia terguncang oleh huru-hara, kedamaian terkoyak oleh nafsu angkara, sosok semar kemudian mengemuka. Semar yang kharismatik dan bersahaja, dipandang sebagai tokoh kunci yang akan menghadirkan kedamaian.
Bamsoet mengatakan, kisah Semar Boyong merupakan satir kehidupan, betapa keteladanan yang disimbolkan oleh sosok Semar saat ini menjadi sebuah barang langka, sehingga harus diperebutkan. Ia menuturkan bahwa secara kasat mata, semar bukanlah sosok yang ‘indah’ dipandang mata. Semar Tua, Tambun dan bungkuk.
Apabila dilihat lebih dalam ternyata begitu banyak makna filosofis yang dapat digali dari penggambaran sosok Semar. Rambut kuncung penuh uban, merepresentasikan kematangan dan kedewasaan dalam pemikiran, sikap dan perilaku. Mata yang sayu merupakan simbol kepekaan untuk menangkap keprihatinan dalam realitas sosial, serta empati terhadap penderitaan sesama. Hidung Sunthi melambangkan ketajaman dalam mencium tanda-tanda zaman.
Anting cabai merah di telinga mengisyarakat kesediaan untuk mendengar masukan, nasehat dan kritikan, meskipun hal tersebut terasa pedas. Mulut yang senantiasa tersenyum, mengandung makna bahwa Semar adalah sosok yang senantiasa berupaya untuk menghibur dan menggembirakan orang lain.
Sebelumnya Wakil Presiden RI, KH Ma’ruf Amin berharap agar bentuk kampanye baik dalam pemilu legislatif maupun pemilihan presiden (Pilpres) tidak berbasis identitas tetapi berbasis program. Selain itu, dalam menyampaikan programnya, para kontestan pemilu harus mengutamakan kesantunan dan saling menghargai satu sama lain. Tentu saja harus ada sikap siap menang dan siap kalah ketika mengikuti pemilu 2024.
Ma’ruf juga berbesan bahwa pilihan politik merupakan hak masing-masing warga negara. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menghujat atas pilihan orang lain sehingga menyebabkan saling bermusuhan. Sudah semestinya Indonesia menjadi negara yang patut dijadikan contoh karena keberagaman suku, bahasa dan agama yang begitu banyak namun bisa disatukan dengan bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia.
Kondusifitas dan stabilitas keamanan nasional tidak boleh dikorbankan demi memenuhi syahwat dari politik golongan tertentu. Pada pemilu seperti pilpres ataupun pilihan legislatif, konflik antar calon masih sering terjadi dan hal ini melibatkan pendukung baik di dunia nyata seperti intimidasi oleh simpatisan gara–gara berbeda warna kaos, maupun intimidasi di dunia maya yang sering diwarnai dengan berita hoax maupun upaya delegitimasi KPU sebagai lembaga independen.
Sejatinya pemilu merupakan sarana untuk menyeleksi calon pemimpin yang kredibel. Dengan begitu, kualitas calon pemimpin sangat ditentukan oleh proses pemilu. Oleh karena itu, penting adanya bagi masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang dipandang kredibel, tentu masyarakat tidak boleh golput, karena hal tersebut hanya akan menguntungkan bagi calon yang tidak kredibel.
Sudah sepantasnya para elit politik maupun peserta pemilu menyatakan bahwa dirinya siap menang dan siap kalah, karena pemilu bertujuan untuk perubahan, bukan mencari permusuhan.
Momentum menjelang pemilu ini dirasa menjadi saat yang tepat untuk saling bergandengan dan menjaga nilai-nilai yang bisa mempersatukan bangsa Indonesia. Jangan sampai pemilu yang digelar lima tahunan tersebut justru memecah belah masyarakat. Padahal Indonesia sudah melewati berbagai rangkaian pemilu serta pergantian pimpinan. Hal ini harus ditunjukkan dengan sikap kedewasaan dalam berpolitik.
Pemilu yang berkualitas tentu mutlak diperlukan guna membangun peradaban demokrasi di Indonesia agar makin maju. Permusuhan ataupun polarisasi hanya gara-gara berbeda koalisi adalah hal yang semestinya tidak ada di NKRI. Rasa persatuan haruslah dijaga, karena demokrasi telah menjadi kesepakatan bersama oleh para pendiri bangsa Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara
Posting Komentar untuk "Utamakan Persatuan, Pemilu Bukan Ajang Permusuhan"